Tahun Baru tentu dengan harapan-harapan baru. Tapi, tak demikian dengan kalangan pengusaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM). Pemberlakukan perdagangan bebas yang disebut ASEAN-China Free Trade Agreement atau ACFTA yang dimulai per 1 Januari 2010 seolah bagaikan kado pahit bagi mereka.
Penerapan ACFTA dikhawatirkan bakal menghancurkan industri nasional. Sebab, tarif bea masuk barang-barang dari Cina ke ASEAN, khususnya Indonesia menjadi nol persen. "Kondisi itu, akan mengancam industri kita karena produk Cina yang terkenal murah akan menjadi saingan terberat produk kita," kata pengamat ekonomi Faisal Basri.
Tak hanya itu. Penerapan ACFTA juga akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. "Seperempat dari 30 juta tenaga kerja akan kehilangan lapangan kerja, yaitu 7,5 juta pekerja," ujar Djimanto, ketua Asosiasi Penguasa Indonesia.
Faisal sempat meminta DPR agar mengajukan hak angket atas penerapan ACFTA. Menurut dia, nilai kerugian pemberlakuan ACFTA bisa mencapai lebih dari Rp 6 triliun, alias lebih besar dari kasus Bank Century. Pasalnya jelas, ratusan ribu pegawai terancam tidak bekerja. "Harusnya yang seperti ini (ACFTA), yang dijadikan hak angket. Jangan hanya Century," ucap Faisal, dalam seminar Kebijakan ACFTA di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Permintaan tersebut direspons DPR. "Kalau ini (ACFTA) akan mempengaruhi sistem perekonomian dan kepentingan nasional tak bisa dilindungi, kita (DPR) akan mengarah ke situ (penggunaan hak angket)," jelas Mukhamad Misbakhun, anggota Komisi VI DPR.
Menurut Faisal, Indonesia belum siap menghadapi perdagangan bebas karena memiliki daya saing yang rendah. Berdasarkan catatan International Institute for Managemenet Development dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008, daya Indonesia merosot ke peringkat 52 dari 55 negara. Bahkan, versi World Economic Forum menyebutkan daya saing Indonesia berada di peringkat 54, lebih rendah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. "Bagaimana mau bersaing, kalau daya saing kita saja menempati posisi nomer dua dari belakang," ujar Faisal.
Sri Adiningsih menyarankan pemerintah menegosiasi ulang kesepakatan perdagangan bebas, terutama untuk sektor-sektor yang belum siap. Di sisi lain, tambah Kepala Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada itu, pemerintah harus menyiapkan industri domestik agar bisa lebih kompetitif dengan produk Cina. Termasuk di antaranya, Sri menambahkan, memberikan kemudahan dalam bentuk pendanaan atau lainnya.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengakui banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah guna meningkatkan daya saing industri nasional. Ia juga mengakui banyak industri—terutama industri tekstil serta produk tekstil—terancam dengan penerapan ACFTA. "Terus terang saja (bersaing) dengan Cina kita ragu, khususnya di sektor produksi tekstil. Sekarang saja produksi tekstil kita sudah kalah bersaing," kata Hidayat.
Ketidaksiapan itu, Hidayat menggambarkan, dapat dilihat dari merosotnya kinerja industri nasional. Hingga Juli 2009, nilai ekspor industri tekstil sudah merosot sekitar US$ 520 juta. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia turut menjerit. Sejak 2000, ketika bea masuk masih diberlakukan, industri baja Indonesia terus mengalami defisit perdagangan karena kalah bersaing dengan produk impor. Defisit ini dipastikan membengkak, jika bea masuk jadi nol persen.
0 komentar:
Posting Komentar